July 08, 2015

Waspadalah! Ketika Narkotika Menyelusup Dalam Segala Sendi Negara

Sejumlah polisi dan aparat penegak hukum ditangkap. Mereka terlibat dalam kasus suap dan pencucian uang dari salah seorang bandar besar heroin yang tak lain bekas sopir dari pimpinan gangster setempat yang dikenal berdarah dingin. Motif suap dan pencucian uang hasil transaksi barang haram itu apalagi kalau bukan untuk \\\'melegalkan\\\' bisnis heroin dan melanggengkan peredaran di pasar gelap narkotika. Pengungkapan lingkaran narkotika itu sendiri berkat kerjasama sang detektif Richie Roberts (Russel Crowe) dengan sang bandar itu sendiri, Frank Lucas (Denzel Washington).

Sedikit cuplikan film garapan Ridley Scott yang dirilis 2007 lalu dengan latar Kota Harlem, New York, akhir 1960-an, \\\'American Gangster\\\'. Film tersebut menggambarkan bagaimana seorang bandar yang menafkahi hidupnya dari transaksi narkotika mampu menguasai hukum yang ada di wilayah tersebut. Tak tanggung, bandar menggunakan fasilitas militer dalam pengiriman heroin dari produsennya langsung di Vietnam ke Amerika, guna memotong langsung distribusi narkotika dan mendapatkan kualitas wahid heroin.

Indonesia sendiri saat ini masih menjadi pasar empuk peredaran narkotika, baik dari jumlah pengguna maupun harga di pasaran gelap. Dalam wawancara detikcom dengan salah satu bandar yang ditangkap BNN dan akhirnya dieksekusi mati beberapa waktu lalu, Adami Wilson alias Abu, disebutkan pasaran sabu per kilo mencapai Rp 160-an juta<\/a>, jauh dari pasaran di Jepang yang tidak menyentuh harga Rp 100 juta sama sekali. Faktor itulah yang menjadi salah satu alasan bandar-bandar Internasional menyasar Indonesia sebagai pasar peredaran narkotika.

Serupa dengan Frank Lucas, uang panas narkotika yang tidak terhitung jumlahnya juga digunakan untuk membungkam penegak hukum dalam menjalankan bisnis narkotika, mirisnya beberapa diantaranya berada di bagian yang seharusnya menjadi instrumen pemberantasan narkotika. Sebut saja bekas Wakil Direktur (Wadir) Direktorat Narkoba Polda Sumut, AKBP Apriyanto Basuki, yang diketahui mengkonsumsi Happy Five di sebuah klab malam di Sumut medio Februari 2012 lalu.

Yang teranyar adalah seorang brigadir K yang bertugas di Direktorat Tindak Pidana Narkotika Mabes Polri. Satuan Narkoba Polres Jakarta Pusat menangkapnya di sebuah diskotek di bilangan Jakarta Utara. Polisi menemukan sejumlah barang bukti, yaitu 150 butir ekstasi di saku kiri dan 560 butir lainnya di tempat lain. Ada juga alat timbang digital dan sebuah alat hisap sabu. Miris!

Serupa dengan Frank Lucas, uang panas narkotika yang tidak terhitung jumlahnya juga digunakan untuk membungkam penegak hukum dalam menjalankan bisnis narkotika, mirisnya beberapa diantaranya berada di bagian yang seharusnya menjadi instrumen pemberantasan narkotika. Sebut saja bekas Wakil Direktur (Wadir) Direktorat Narkoba Polda Sumut, AKBP Apriyanto Basuki, yang diketahui mengkonsumsi Happy Five di sebuah klab malam di Sumut medio Februari 2012 lalu.

Yang teranyar adalah seorang brigadir K yang bertugas di Direktorat Tindak Pidana Narkotika Mabes Polri. Satuan Narkoba Polres Jakarta Pusat menangkapnya di sebuah diskotek di bilangan Jakarta Utara. Polisi menemukan sejumlah barang bukti, yaitu 150 butir ekstasi di saku kiri dan 560 butir lainnya di tempat lain. Ada juga alat timbang digital dan sebuah alat hisap sabu. Miris!

\\\"Harusnya nangkep kok malah membawa,\\\" ketus Kadiv Humas Polri, Irjen Suhardi Alius<\/a>, kepada detikcom, Jumat (22\/3) pekan lalu.

Hasil rupiah yang aduhai dari penjualan narkotika tentu mampu membuat bandar melakukan apapun untuk melindungi sel-sel atau kaki tangannya dalam peredaran. Dalam hal ini uang memegang kendali, tidak peduli nyawa yang harus dibayar karena menjadi korban penyalahgunaan narkotika.

\\\"Bandar juga membunuh orang, seperti genosida, dia membunuh banyak orang secara perlahan,\\\" tegas Kordinator Tim Pembela Muslim (TPM) Achmad Michdan<\/a>, dalam wawancara dengan detikcom terkait eksekusi mati gembong narkotika Adami Wilson belum lama ini.

Empat tahun lalu Korps Adhyaksa digemparkan dengan kasus penggelapan barang bukti 300 butir pil ekstasi yang dilakukan jaksa dari Kejari Jakarta Utara Esther Tanak. Terbaru dan juga menggemparkan adalah adanya dugaan korting vonis seumur hidup gembong narkotika Hengky Gunawan menjadi 15 tahun penjara. Belakangan vonis tersebut dipotong kembali menjadi 12 tahun penjara. Hakim Agung Ahmad Yamani yang ikut memutus upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) pun akhirnya harus turun dari kursi di Mahkamah Agung. 

Putusan mengejutkan di tingkat PK juga diberikan kepada Hillary K Chimize. Gembong dari sindikat narkoba nigeria ini lolos dari hukuman mati dan divonis 12 tahun penjara. Namun, lagi-lagi Hillary dicokok di dalam lapas di Nusa Kambangan oleh BNN beberapa hari lalu.

Lebih jauh lagi, Meirika Franola alias Ola lolos dari eksekusi mati setelah mengajukan grasi ke Presiden. Meski pernah dijerat kasus narkotika, belakangan kurir narkotik internasional ini kembali bermain di dalam Lapas Tangerang.

Ruang gerak bandar makin leluasa meski berada di balik penjara. Hukum seperti mandul meski dengan ancaman mati. Kendali uang hasil peredaran narkotika tak dipungkiri bisa menyusup ke segala sendi aktivitas dan bersimbiosa, baik teror atau politik sekalipun.

Simbiosa sindikat narkotika dengan kelompok bersenjata terjadi dalam kasus Fadli Sadama. Fadli merupakan tokoh kunci kelompok teroris yang mendanai pembelian senjata dari Thailand dari hasil penjualan narkotika. Kelompok Fadli yang mengotaki penyerangan Mapolsek Hamparan Perak.

\\\"Tidak tertutup kemungkinan aktivitas yang menghalalkan segala cara, maka uang narkoba masuk di situ,\\\" kata Deputi Pemberantasan Narkotika BNN, Irjen Benny J Mamoto, saat disinggung mengenai dugaan uang hasil narkotika menyusup ke ranah politik, Rabu kemarin.

Kelahiran UU No. 35\/2009 tentang Narkotika menjadi solutif dalam upaya penanganan barang haram di Indonesia. Ditambah lagi lahirnya UU No. 8\/2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang makin memberikan kewenangan penelusuran aliran hasil narkotika. Peraturan \\\'Sapu Jagat\\\' yang lahir dari tindak pidana narkotika ini tentu diharapkan dapat membongkar siapa penerima dan menikmati jatah transaksi narkoba, termasuk aparat hukum itu sendiri. Tanpa pandang bulu.

\\\"Setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan dengan paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah),\\\" bunyi Pasal 5 UU No 8\/2010. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) salah satunya adalah narkotika.

Singkat kata, bahaya narkotika mengancam siapa saja. Simbiosis mutualisme narkotika dan senjata menjadikan ancaman di depan mata. Apalagi menyatu dengan kuasa bak melihat bahaya narkotika dengan sebelah mata, tak peduli generasi sengsara terjerembab narkoba. Tak peduli petaka asal kaya raya.

\\\"Yang Muda Mabuk, Yang Tua Korup
Korup Terus, Mabuk Terus
Jayalah Negeri Ini, Jayalah Negeri Ini\\\"<\/em>


(detik.com)

Artikel Terkait


EmoticonEmoticon