Berdasarkan hasil penelitian, terungkap bahwa 53,91 persen narapidana merupakan pengguna narkoba dan 6,76 persen sebagai pengedar. Selebihnya kombinasi antara pengguna dan pengedar. Narapidana narkoba yang tergolong criteria ini termasuk yang memiliki/ menyimpan, sebagai kurir atau pedagang perantara, ataupun yang hanya menanam ganja.
Hal yang menarik, perempuan yag didakwa sebagai pengedar proporsinya sama besar dengan perempuan pengguna. Disinyalir para pengedar kerap menggunakan jasa perempuan sebagai kurir sebagai strategi berkamuflase yang jitu untuk bisa mengelabui aparat penegak hukum. Selain itu, perempuan memiliki komitmen kuat terhadap jaringannya.
Masalah narapidana narkoba tidak memandang tingkat pendidikan. Sekitar 53,8 persen narapidana narkoba berpendidikan SLTA ke atas dan diikuti narapidana berpendidikan tamat SLTP sekitar 26,3 persen. Proporsi terkecil tidak sekolah/tidak tamat SD, sekitar 5,8 persen. Dilihat dari status perkawinan, sebagian besar narapidana narkoba berstatus belum kawin. Proporsi narapidana narkoba yang belum kawin mencapai 60,5 persen dan yang berstatus kawin mencapai 36,2 persen.
Dari aspek pekerjaan, proporsi terbesar narapidana narkoba sebelum masuk penjara berstatus bekerja, yaitu 72,5 persen. Hal tersebut cukup beralasan karena narkoba bukan barang murah. Maka, orang yang bekerja mampu membeli narkoba. Proporsi terbesar jenis pekerjaan narapidana narkoba adalah pedagang. Dari sisi pendapatan, hampir separuh atau 45,1 persen narapidana narkoba berpendapatan kurang dari Rp 500.000 per bulan. Kemudian kelompok pendapatan Rp 500.000 – Rp 1,5 juta, yaitu 41,3 persen. Selebihnya berpendapatan di atas Rp 1,5 juta dan pekerja keluarga.
Sebagian besar narapidana narkoba berasal dari lingkungan masyarakat yang masih memiliki rasa kebersamaan. Hal tersebut tercermin dari besarnya proporsi narapidana yang masyarakat di lingkungannya masih memiliki kebiasaan gotong royong (83,5 persen), silahturahmi (83,3 persen), dan ibadah bersama (79,8 persen). Selain itu, sekitar 71 persen narapidana berasal dari lingkungan yang di dalamnya terdapat organisasi social kemasyarakatan. Diketahui pula bahwa sebagian besar narapidana, sekitar 80 persen, berasal dari lingkungan yang memiliki tempat yang biasa digunakan untuk berkumpul anak-anak muda.
Hampir separuh narapidana narkoba karena ingin tahu/ coba-coba melupakan masalah merupakan alas an ketiga setelah diberi teman/famili. Adapun yang merasa dirinya dipaksa teman hanya 0,6 persen. Masalah penyalahgunaan narkoba yang merambah sampai anak-anak usia sekolah telah nyata faktanya. Hampir separuh (48,7 persen) narapidana pemakai narkoba telah berkenlan dengan barang haram tersebut pada usia 19 tahun ke bawah. Bahkan, 10,7 persen diantaranya mengonsumsi narkoba sejak usia kurang dari 14 tahun.
Kesuksesan para pengedar menyusupkan pada anak-anak usia dini menarik untuk dikaji. Dari informasi tentang darimana diperoleh narkoba pertama kali, terungkap bahwa narkoba diedarkan lewat jalinan pertemanan. Sebanyak 82,6 persen narapidana narkoba pertama kali mengonsumsinya dengan diberi gratis oleh teman. Hanya sekitar 12,4 persen narapidana narkoba yang mengonsumsinya pertama kali dengan membeli. Ironisnya, ada juga keluarga yang ingin menghancurkan masa depan saudara sendiri. Sebuah realitas yang kian membuktikan sinyalemen bahwa sangat mungkin narkoba sebagai scenario untuk menghancurkan sebuah bangsa. Hal itu peredarannya sudah begitu merambah sangat luas.
LP Narkoba
Lembaga Pemasyarakatan (LP) khusus narkoba, yang diperuntukkan bagi narapidana kasus narkoba, berdiri sendiri dan harus dengan pola pembinaan berbeda dengan LP umum. Sementara penanganan dan pendekatan pada LP narkoba harus menggunakan dua aspek penanganan dan pendekatan yang dilakukan, yaitu perawatan dan kesehatan dari narapidana. Baik bagi para pengguna maupun pengedar yang sebenarnya pasti juga sebagai pengguna.
LP Narkoba
Lembaga Pemasyarakatan (LP) khusus narkoba, yang diperuntukkan bagi narapidana kasus narkoba, berdiri sendiri dan harus dengan pola pembinaan berbeda dengan LP umum. Sementara penanganan dan pendekatan pada LP narkoba harus menggunakan dua aspek penanganan dan pendekatan yang dilakukan, yaitu perawatan dan kesehatan dari narapidana. Baik bagi para pengguna maupun pengedar yang sebenarnya pasti juga sebagai pengguna.
Sungguh sangat bijak manakala seorang hakim berani memvonis seorang tersangka terkait dengan kasus narkoba, baik pengguna maupun pengedar, untuk dimasukkan ke dalam LP narkoba dan bukan ke penjara umum. Kiranya ketegasan ini bias menjadi koor yang sama untuk disuarakan para penegak hukum di Jatim untuk memberantas bisnis peredaran narkoba.
Ketersediaan alat-alat pengamanan super ketat, seperti X-ray, pendeteksi logam, dan jammer (alat pemutus sambungan telepon seluler dari luar maupun dalam LP), yang terpasang di sebagian LP umum, bukan solusi jitu untuk membina pengguna serta memberantas peredaran narkoba.
Kita tentu tidak menutup mata kemungkinan petugas ikut bermain karena narkoba itu urusannya dengan uang. Dengan ditempatkannya para narapidana narkoba di LP khusus dan ditangani petugas-petugas social yang dilatih secara intensif, sangat pasti akan menumbuhkan komitmen untuk ikut membina sekaligus memberantas peredaran narkoba yang kian marak terjadi dalam LP umum. Ini agaknya bias menjadi sebuah solusi yang dapat mereduksi berbagai dampak fatal dari makin maraknya bisnis narkoba.
PUDJO SUGITO, Sekretaris Lembaga Penelitian Unmer Malang.
Sumber: Kompas.com
Sumber: Kompas.com