January 02, 2016

Kisah Pecandu Narkoba dari Lapak Eungkot Masen

“Itu masa-masa paling kelam dalam hidup saya,” ujar Andi (bukan nama sebenarnya) singkat membuka kisahnya.

“Teuma ta preh le siat. Nyoe teungoh lon peu pisah bileh leubot ngon kareng tho (Tapi tunggu sebentar. Saya pilah-pilah teri yang masih agak lembab dengan yang sudah kering dulu),” sambungnya lagi.

Sabtu siang (17/5/2015), Andi tengah melakukan rutinitasnya sebagai penjual ikan asin di emperan sebuah toko kelontong di pasar kota kecamatan pesisir Kabupaten Pidie Jaya. Tangannya asyik menyortir kareng tho (teri kering) dari sebuah keranjang rotan untuk kemudian dimasukkannya dalam sebuah kantong plastik biru. Dengan cekatan ia memilah-milah bilis kering yang tumpukannya mengerucut ke atas seperti bentuk gunung.

Andi (38) adalah seorang ayah dari dua orang anak. Bekerja menjadi penjual ikan asin sejak 2012. Ia adalah seorang bekas pecandu narkoba. Sekaligus bekas pengedar barang haram yang telah mengalami masa-masa paling buruk dalam hidupnya. Hari itu, di antara lalu lalang orang-orang di pasar kecamatan, Andi membeberkan pahit getir hidupnya selama menjadi pecandu dan pengedar narkoba.

Usai memilah-milah teri kering, Andi bergegas. Keluar dari lapak jajaan ikan asinnya menuju sebuah warung kopi. Ada dua meja yang ditata membentuk huruf L di lapaknya. Berbagai jenis ikan asin tersusun rapi di atasnya. Ada tenggiri, teri kering, bileh leubot, dan beberapa jenis ikan lainnya yang semuanya telah diasinkan. Baunya khas. Menguar menusuk hidung.

Andi kembali ke lapaknya dengan membawa dua gelas kopi. “Han paih ta peugah haba meunyo hana kupi, (Tidak asyik ngobrol tanpa kopi),” ujarnya sembari menyodorkan segelas kopi. Kini ia duduk kembali di lapaknya, menyulut sebatang rokok, bercerita, sambil sesekali menyeruput kopi.

“Lon ka ku piep bakong mulai glah 2 SMA, (saya sudah mulai nge-ganja sejak kelas II SMA),” ujar Andi memulai kisahnya.

“Tapi ya itu. Jika saya ceritakan masalah ini, pikiran saya akan balik lagi ke masa-masa paling pahit dalam hidup. Masa paling celaka dalam hidup. Namun tidak masalah. Kadang cerita saya ini bisa jadi obat untuk orang-orang lain. Setidaknya bisa diambil iktibarlah,” sambung Andi lagi.

Andi adalah anak semata wayang bagi sepasang suami istri yang hidup mapan di sebuah kota kecamatan. Ayahnya yang bekerja sebagai pegawai negeri di kantor camat adalah seorang keturunan Ampon (Teuku, istilah bangsawan Aceh) yang memiliki beberapa petak sawah dan kebun di beberapa kampung. Ibunya juga pegawai negeri, bekerja di Puskesmas kecamatan. Bagi Andi, kedudukan dan pekerjaan dua orang tuanya, adalah anugerah hidup yang secara finansial bisa dinikmatinya sekehendak hati.

Pertengahan 1990-an, ketika sepeda motor masih agak jarang berseliweran di kota kecamatan, Andi sudah memiliki sepeda motor pribadi. Tidak tanggung-tanggung, ia dibeli orang tuanya, satu unit sepeda motor bebek keluaran terbaru, Kawasaki Kaze. Masa itu, sepeda motor yang sudah agak umum hanya sebatas merk Honda Astrea. Maka memiliki Kawasaki Kaze, yang body, kecepatan, dan tampilannya terlihat lebih wah dari yang lain, adalah tongkrongan yang melejitkan prestis Andi dalam pergaulannya.



“Kawasaki Kaze itu dibeli ayah sebagai hadiah saat saya naik kelas II SMA dengan meraih rangking II. Masa nyan meu soe-soe sinyak yang ek honda. Peu lom di ek honda merek Kawasaki Kaze, (Masa itu tidak sembarang orang punya sepeda motor. Apa lagi punya sepeda motor Kawasaki Kaze)” kenang Andi.

Namun, sepeda motor yang dihadiahkan orangtuanya sebagai penghargaan dan motivasi baginya untuk terus berprestasi di sekolah, malah mengantarkan Andi masuk dalam dunia ‘lain’. Sejak kelas II SMA, sejak memiliki sepeda motor pribadi, Andi mulai meluaskan pergaulannya. Teman-temannya sudah tidak lagi sebatas teman-teman sekolah yang sekaligus menjadi teman mengaji dan teman main bolanya sehari-hari. Ia sudah bergaul dengan teman-teman di kecamatan lain. Bahkan hampir tiap minggu ia pulang pergi ke ibukota kabupaten yang jaraknya sekitar 30 menit mengendarai sepeda motor. Ia bolak balik ke sana tidak lain kecuali sekadar nongkrong dengan teman-temannya yang baru

Jangkauan pergaulannya yang semakin luas dengan mengandalkan hadiah orangtuanya itu adalah titik balik bagi hidup Andi. Keluarga mapan, yang mengelukan anak laki-laki semata wayangnya yang sejak SMP telah menoreh banyak prestasi. Seperti menjadi gelandang inti tim sepakbola junior kecamatan, peserta cerdas cermat mewakili sekolah dan TPQ dalam berbagai perlombaan, anggota tetap grup dalail khairat yang saban bulan maulid mendapat undangan meudikee di kampung-kampung, mulai meredupkan sinarnya sejak saat ini.

Sejak sepeda motor di tangan, seperti penggalan lirik lagu pengamen cilik yang sempat heboh di media sosial, Andi sekarang bukan Andi yang dulu lagi. Andi dengan Kawasaki Kaze-nya yang mentereng sudah melebarkan langkahnya dalam pergaulan-pergaulan yang sedikit lebih bebas tenimbang sebelumnya. Jika sebelumnya tak pernah menghisap rokok, kini sudah mulai mencoba-coba menghisapnya. Alasannya saat itu, untuk menghargai teman-teman lain yang merokok ketika nongkrong.

Tidak tanggung-tanggung, pertama sekali masuk dalam dunia barunya ini, Andi langsung mencoba ganja. Bukan rokok. “Waktu itu, ya, saya kelas dua SMA. Saya mulai sering nongkrong di kota kabupaten. Di sanalah pertama sekali saya menghisap. Bukan hisap rokok. Tapi langsung hisap ganja,” terangnya sambil menyungging senyum.

Lantas, bermula dari coba-coba, sebagai alasan untuk menghargai pemberian gratis teman-teman barunya yang hampir semuanya nyimeng (hisap ganja), Andi mulai terlibat dalam dunia ganja. ‘Karir’ Andi dalam dunia bisa dikatakan narkoba berawal dari sini.

Namun, Andi yang memang sejak kecil dididik oleh dua orangtuanya yang berpendidikan, ‘kegiatan’ barunya di kecamatan lain, dan di ibukota kabupaten tidak mempengaruhi prestasinya di sekolah. Setidaknya sampai ia duduk di bangku kelas III, rangkingnya masih selalu masuk dalam lima besar tiap caturwulan.

“Kelas III SMA, saya sudah mulai kecanduan. Kalau pertamanya saya nyimeng masih di luar kecamatan sendiri, kelas III SMA saya mulai gabung dengan anak-anak di kampung-kampung tetangga. Waktu itu, ayah dan ibu tidak pernah curiga. Saya masih dapat rangking di sekolah. Kecuali memasuki cawu II, nilai rapor saya sudah mulai anjlok. Untung saya bisa lulus SMA,” kenang Andi.

Setamat SMA, Andi sudah benar-benar larut dalam dunia barunya. Ditambah lagi dengan diterimanya ia di sebuah kampus negeri di Banda Aceh, membuat Andi semakin leluasa melebarkan sayapnya.

Andi candu. Telah menjadi pencandu. Sehari tidak nyimeng, sakaunya tidak ketulungan. Dan itu harus segera dilampiaskan. Persoalan dari mana ia dapat ganja tak pernah jadi masalah baginya. Kiriman biaya kuliah dari orangtuanya ditambah alasan biaya ini-itu untuk keperluan kuliah tiap bulannya membuat Andi tak pernah kehabisan uang untuk pemenuhan kebutuhannya itu.

Semester-semester awal kuliah, Andi masih berkutat dengan ganja. Ia melewati hari-harinya dengan teman-teman yang semuanya terlibat dalam dunia ganja. Sampai kemudian, oleh temannya yang datang dari luar mengenalkan jenis barang haram lain kepadanya: Putaw. Jenis narkoba yang dipakai dengan cara menyuntik ke urat nadi si pemakai.

Putaw adalah ‘makhluk’ yang membuat Andi semakin terjerumus. Dengan barang ini kehidupan Andi makin terpuruk. Kuliahnya kian terbengkalai. Dengan putaw, sakaunya jadi berlebih. Hari-hari tanpa putaw adalah hari-hari jahanam. Perih. Itu sebabnya, ia semakin berusaha mendekatkan diri dengan para pengedar, berhutang pada mereka, yang secara tidak sadar menuntutnya untuk terus mengantongi dana segar setiap waktu. Di sini, Andi mulai bersiasat. Kuliah bukan lagi fokus utamanya. Bahkan uang untuk pembayaran iuran semester ia jadikan modal jualan ganja. Keuntungan dari jualan gelapnya tidak lain untuk bisa membeli putaw pada pengedar lain.

Tahun 1997 Andi ‘resmi’ menanggalkan almamater kuliah. Uang iuran semester yang dikirim orang tuanya dari kampung, telah ia gunakan jadi modal awal untuk kelak ia menjadi salah satu bandar ganja di lingkungan kampus. Semua itu tentu saja tanpa sepengetahuan ayah dan ibunya.

“Semester V, saya benar-benar nekad. Uang yang dikirim dari kampung buat bayar SPP malah saya gunakan sebagai modal beli ganja untuk kemudian saya jual lagi. Waktu itu, saya benar-benar seperti orang yang telah hilang kesadaran,” ujar Andi lirih.

Sejenak Andi terpekur setelah mengisahkan awal mula ia putus kuliah. Rokok yang terjepit di antara jari tengah dan jari telunjuk diputar-putarnya sekian menit lamanya. Andi terdiam. Lapak tempat ia berjualan ikan asin sejenak senyap, seperti sebuah adegan slow motion dalam film. Tapi sekawanan lalat yang berdengung terbang dan hinggap di atas tumpukan ikan asin membuyarkan lamunannya serta menghentikan putaran rokok di kedua jarinya. Dengan cepat ia hela kawanan lalat itu menggunakan sebatang tongkat kecil yang di ujungnya diikat daun pisang yang telah digerut dalam helai-helai kecil.

Dua orang wanita yang dari penampilannya bisa ditebak adalah ibu-ibu muda, berhenti di depan lapak Andi. Kepada calon pembeli ikan asinnya Andi tersenyum ramah. Dengan sabar ia menawarkan barang dagangannya sambil mengibaskan seliweran lalat yang masih berterbangan di sekitarnya.

“Nyoe Buk, bileh leubot. Meunyo ta crah cukop meurasa. Abeh bu ubena buet yah si agam meunyo keunong bileh teu crah. Hana muhai, Buk. Limong ribe rupia saboh tumpok. (Ini Bu, teri setengah kering. Cocok ditumis. Habis nasi tak terkira sama si Bapak di rumah kalau tumis teri jadi lauk. Tidak mahal, Bu. Rp5000 setumpuk),” terang Andi pada pelanggannya.

Si ibu muda yang ditawari Andi terpikat. Dua tumpuk teri setengah kering itu dibelinya untuk dibawa pulang. Temannya satu lagi tampak termangu. Memandang lekat ke wajah Andi tanpa sekalipun menoleh tempat lain selama menunggu temannya bertransaksi. Barangkali ia bergumam dalam hati, “Orang seganteng ini kok mau jualan ikan asin, ya?”

Dari segi penampilan, Andi memang tidak cocok duduk di belakang lapak jualan ikan asin. Berkulit sawo matang, wajah tirus di padu hidungnya yang mancung serta jambang yang turun menyatu dengan jenggot dan kumis yang membingkai bibirnya, sekilas ia hampir mirip dengan wajah Muzakkir Manaf, Wakil Gubernur Aceh sekarang. Cara ia berpakaian pun, sama sekali tidak menunjukkan layaknya penjual ikan asin kebanyakan. Celana jeans dipadu kemeja lengan panjang yang dilipat sampai siku yang dipakainya siang itu menunjukkan ia cukup parlente untuk seorang penjual ikan asin.

Pelanggan yang singgah di lapaknya berlalu. Andi melanjutkan kisahnya, setelah memasukkan selembar uang Rp10.000 dalam kantong plastik kecil merah jambu. Ia seruput kopi untuk sekian kali. “Ya beginilah, cara saya cari nafkah sekarang. Banyak orang yang kenal orang tua saya kaget ketika melihat saya jualan ikan asin begini. Tapi untuk nafkah anak istri tidak ada istilah gengsi,” ujar Andi sambil menyulut lagi sebatang rokok yang baru.

Kisahnya berlanjut. Andi kembali bercerita bahwa fase ketika ia memutuskan diri menjadi bandar ganja adalah fase yang menjelaskan bagaimana dari sini ia semakin terjerembab dalam jurang keterpurukan. Fase ini sama halnya seperti dalam penggalan lirik lagu Dik Doank berjudul 180 Derajat; //Dulu olahragawan/sekarang bandar narkoba//Dulunya gemuk/sekarang junkies habis//.

Ya, masa ini, Andi telah meninggalkan semua hobinya yang dulu. Sepakbola, membaca, nongkrong di keramaian, sudah berganti dengan aktivitasnya yang tak jauh-jauh dengan dunia narkoba. Badannya yang dulu tegap berubah ceking, kurus kering. Ia sudah lupa bagaimana mengurus dirinya. Ia sudah jarang pulang ke kampung, pun jaraknya sekitar 170 km dari Banda Aceh. Orang-orang dekatnya telah menjauh, atau memang aktivitasnya itulah yang membuatnya menutup diri kepada siapa pun.

“Sejak main dengan barang suntik itu, saya sudah benar-benar lupa diri. Bisa dikatakan sudah tidak kenal siapa diri saya lagi. Jika sudah tak cukup uang untuk beli putaw, barang-barang dalam kamar kost jadi tumbal. Semuanya saya jual satu-satu,” kenang Andi.

Andi mengaku, walau pun ia telah ‘membuka usaha’ haramnya dengan menjual ganja secara diam-diam itu tetap saja uang yang dibutuhkannya tidak pernah cukup. Barang pertama yang ia jual adalah sebuah tape recorder merk SONY. Kemudian berlanjut ke barang-barang lain, mulai dari jam tangan, baju, celana jeans, hingga sepatu. Masa-masa ini ia sudah sering bolak balik Banda Aceh – Medan. Hampir setiap bulan ia pergi ke Medan. Di sana, ruang geraknya untuk ‘mengobati’ sakau terasa lebih bebas tenimbang di Banda Aceh. Di sana pula ia mengakrabkan diri dengan dunia malam. Narkoba juga menjerumusnya main perempuan.

Hari-hari yang digeluti Andi yang penuh dengan gelimang dosa itu kemudian menunjukkan imbasnya. Petaka yang tak pernah dipikirkannya mulai hadir dalam hidupnya secara bertubi-tubi. Tahun 2000 Andi dapat kabar dari beberapa temannya bahwa ia sedang dicari-cari polisi. Polisi sudah mengendusnya sebagai salah satu bandar ganja di kawasan kampus. Mendengar kabar buruk itu, tak ada jalan lain kecuali pindah tempat tinggal. Hari itu juga ia lari ke Medan.

Di sana dengan modal mengajinya dulu, ia tinggal sebuah surau menjadi semacam asisten bilal. Di surau ini, sesekali ia jadi muazin mengumandangkan waktu shalat tiba. Bahkan pada dua-tiga bulan pertama ia ngumpet di rumah ibadah ini Andi mengajarkan dalail khairat kepada anak-anak tingkat SMP selepas mereka mengaji. Apakah Andi sudah taubat? Tidak.

Lebih celaka, kebiasaan buruknya, sebab sakau dan butuh uang segar, Andi malah menggunakan kegiatan keagamaannya di sini sebagai modus usaha gelapnya. Surau ini ia jadikan tempat persembunyian sekaligus tempat menjalankan usaha haramnya. Mengandalkan koneksi dunia gelapnya, di surau ini Andi menyimpan ganja dan putaw di mana sesekali pelanggannya datang satu-satu membeli barangnya.

Namun, sepandai-pandai menyimpan bangkai, busuknya akan terendus juga. Sekitar tujuh bulan ia tinggal di surau itu, Andi ketangkap tangan sedang menjual ganja oleh polisi. Barang bukti sekitar setengah kilogram ganja yang dipacking rapi di bawah tempat tidurnya membuat ia tak bisa berkutik sama sekali. Melewati interogasi, pengadilan, akhirnya ia dijebloskan dalam penjara.

Penangkapan Andi adalah awal dari semua petaka. Ayahnya murka, sekaligus shock. Ibunya lebih-lebih. Kesehatan keduanya mulai terganggu mulai saat ini. Pengurusan pengadilan hingga penentuan vonis anak semata wayang mereka telah menggerus energi dan harta keluarga. Sepetak demi sepetak sawah dan kebun dijual untuk pengurusan pengadilan yang masa itu agak terbelit-belit.

Lantas vonis itu jatuh juga. Andi harus mendekam dalam penjara selama 7 tahun. Itu pun setelah urus sana-sini oleh dua orangtuanya yang menghabiskan banyak harta. “Penjara adalah neraka. Narkobalah yang menyebabkan saya masuk neraka dunia,” ujar Andi lirih.

Air muka Andi berubah ketika ceritanya sampai di fase ini. Mimiknya murung. Sesekali ia menunduk sambil menghisap rokoknya dalam-dalam. “Kau tahu? Selama di penjaralah dua orang tua saya meninggal. Tahun 2002 ayah saya meninggal karena sakit. Kemudian sebelum tsunami, awal Desember 2004 ibu saya juga meninggal,” terang Andi dengan mata berkaca-kaca.

Di penjara, Andi hanya bisa meratap. Dua orang tuanya yang meninggal hanya bisa didengar kabarnya tanpa bisa pulang untuk sekadar melihat pemakaman mereka. “Kiban lom lon peugah dosa lon nyoe. Dan nyan hana laen, cit ngon gara-gara narkoba nyan,” sambung Andi dengan mata berlinang.

Ceritanya terputus. Lama Andi terdiam sambil terpekur. Sesekali ia mengurut pelan keningnya. Pekurnya yang semakin dalam tanpa sedikit pun mendongakkan wajahnya untuk sekian menit lamanya jelas menunjukkan bagaimana Andi seperti menanggung dosa seumur hidupnya. Bahkan seorang calon pembeli ikan asinnya tidak ia acuhkan sama sekali.

“Allahu akbar,” ucap Andi lirih seperti ingin membuyarkan lamunannya sendiri. “Tujuh tahun saya dalam penjara akibat ulah saya sendiri. Imbasnya, jangankan untuk bisa melihat jenazah ayah-ibu saya untuk yang terakhir kali, menghadiri pemakamannya saja saya tidak bisa,” sambung Andi lagi dengan mata berbinar.

Andi mengaku saat mendengar kabar ibunya meninggal, ia seperti ingin bunuh diri saja. Sekian tahun di penjara, ia hanya bisa mengutuk diri sendiri. Menyesali hidupnya. Menyesali bagaimana ia telah berkhianat pada harapan dan kasih sayang tulus dua orang tuanya. Yang sekali pun ia telah berbuat nista, masih mau mengurusi tetek bengek urusan pengadilan sampai harus kehabisan harta mereka bahkan masih tetap mau menjenguknya di penjara saban bulan.

Tahun 2007 Andi bebas. Ia langsung pulang ke Aceh. Tapi tak langsung pulang ke kampung halaman. “Yang pertama saya pikirkan waktu keluar penjara tidak lain kecuali ingin cepat-cepat sampai di kuburan ayah ibu saya. Tapi bagaimana saya bisa berziarah jika cap pendosa masih tercetak di dahi saya?” ujar Andi.

Pertanyaan itu ia jawab sendiri dengan belajar agama di salah satu dayah (pesantren tradisional) di Lhok Nibong, Aceh Timur. Ia memilih menunda berziarah ke kuburan orang tuanya sebelum bertaubat dengan sebenar-benarnya taubat. Tiga tahun belajar agama di dayah, Andi pulang kampung dengan sambutan cemoohan sanak kerabat dua orang tuanya. Bagi keluarga besarnya, ia adalah pendosa terkutuk. Narkoba tidak hanya berimbas pada dirinya sendiri, tapi dianggap sebagai sebab dua orang tuanya meninggal dunia, yang selama hidup mereka cukup dihormati di kalangan keluarga besar.

“Cemoohan famili dan orang-orang kampung adalah klimaks dari semua derita atas ulah saya sendiri. Bahkan saat saya berziarah ke kuburan ayah ibu pun saya pernah mendengar celetukan orang, ‘peu ka dipeulaku aneuk durhaka nyan bak kubu ma ngon yah jih (apa yang mau dibuat anak durhaka itu di kuburan ayah ibunya.’ Mendengar itu saya hanya bisa menangis,” kata Andi dengan linangan air di kelopak dua matanya.

Sejak saat itu, Andi membuat keputusan. Harta warisan orangtuanya yang tinggal dua petak sawah dan sepetak kebun ia wakafkan semuanya ke masjid pemukiman. Rumahnya orang tuanya ia jual, di mana sebagian besar uangnya ia bagikan kepada seluruh kerabatnya, ia sumbangkan ke masjid.

“Waktu itu, banyak orang curiga saya ingin membersihkan nama saya saja. Tapi saya serahkan itu semua pada Allah ta’ala. Yang jelas saat itu saya bertekad, saya akan hidup mandiri. Saya tidak akan tinggal lagi di kampung orang tua saya dan memilih tinggal di kota kecamatan ini,” terang Andi.

Setelah membuat keputusan yang tidak disangka-sangka oleh sanak keluarga dan orang-orang kampungnya, Andi pindah ke kota kecamatan. Perbuatan nista sebagai pecandu narkoba yang ia tanggalkan tetap menyisakan cemoohan dari orang-orang. Tapi dengan tekad bulat, memanfaatkan sisa uang hasil penjualan rumah orang tuanya ia berdikari dengan menjadi penjual ikan asin hingga saat ini. Hingga ia telah menjadi ayah bagi dua orang anak seperti sekarang, di mana di lapak ini pulalah ia pertama sekali mengulang kembali sejarah kelam hidupnya di dunia narkoba.

“Semoga cerita pahit saya ini bisa diambil iktibar bagi anak-anak muda sekarang,” kata Andi menutup kisahnya.[]

Oleh Reza Mustafa, Komunitas Kanot Bue.

Artikel Terkait


EmoticonEmoticon