February 08, 2017

Opium, Akar Konflik di Afghanistan

Afghanistan adalah sebuah negara yang relatif miskin dimana pertumbuhan ekonominya hanya sebesar 1,3% pada tahun 2014 dan 1,5% di tahun 2015. Menurut data tersebut, negara ini perekonomiannya sangat bergantung pada pertanian. Sektor pertanian di atas tak lain dan tak bukan adalah pertanian Opium (bahan baku pembuatan kodein, heroin, dan morfin).
Opium (Papaver somniferum L) /Abuse-Drug.com Image
IndoDrugs - Membicarakan Afganistan, ingatan kita akan merujuk kepada sebuah negara di kawasan Asia Tengah yang selalu dirundung peperangan. Wilayah yang sudah memiliki sejarah panjang sekitar 5000 tahun itu silih berganti terjadi perebutan kekuasaan. Tak terkecuali Alexander Agung pun tertarik untuk menginvasi wilayah ini pada tahun 330 SM. Pada era modern saja yaitu sejak 1900, sebelas raja dan penguasa telah menumbangkan melalui cara tidak demokratis. Diantaranya tahun 1919 (pembunuhan), 1929 (turun tahta), 1929 (eksekusi), 1933 (pembunuhan), 1973 (deposisi), 1978 (eksekusi), 1979 (eksekusi), 1979 (eksekusi), 1987 (penghapusan), 1992 (menggulingkan), 1996 (menggulingkan) dan 2001 (menggulingkan).

Periode terpanjang stabilitas di Afghanistan antara tahun 1933 sampai 1973, ketika negara itu di bawah kekuasaan Raja Zahir Shah. Namun pada tahun 1973, Sardar Mohammed Daoud melancarkan kudeta tak berdarah. Pada tahun 1978 Daoud dan seluruh keluarganya dibunuh ketika Partai Rakyat Demokratik Komunis Afghanistan melancarkan kudeta yang dikenal sebagai Revolusi Saur Besar untuk mengambil alih kekuasaan.

Pasca tragedi 11 September 2001, Amerika Serikat menginvasi wilayah ini dan menyingkirkan pemerintah Taliban. Namun hingga sekarang konflik di Afghanistan belum juga menemui titik terang akan berakhir. Tajuk Rencana Kompas (20/10/2016) memuat upaya perundingan damai antara Pemerintah Kabul dengan pihak Taliban yang sudah berlangsung selama dua kali di Qatar pada September dan Oktober ini.

Latar Belakang Konflik

Perang Afghanistan yang dimulai pada tahun 2001 merupakan operasi militer Amerika Serikat yang terbesar dan termahal setelah Perang Vietnam dan Perang Irak. Selain menghabiskan biaya besar juga memakan korban jiwa yang sangat banyak. Menurut penelitian akademisi di Universitas Brown, pembayaran bunga atas uang pinjaman untuk membiayai perang dan 400 juta dolar AS diperkirakan telah dihabiskan untuk perang melawan terror domestik, total pengeluaran yang sudah dikeluarkan di satu tempat antara 2,3 triliun hingga 2,7 triliun dolar AS. Biaya tambahan pengeluaran militer masa depan dan biaya perawatan bagi para veteran perang, maka jumlah uang yang harus dikeluarkan AS akan berada di antara 3,7 triliun hingga 4,4 triliun dolar AS.

Laporan ini bukan pertama. Pada 2008, Harvard pernah melakukan studi serupa yang memperhitungkan biaya akhir perang akan melebihi 3 triliun dolar AS. Perbedaannya, kini posisi keuangan AS telah memburuk. Parahnya lagi, perang AS di Irak dan Afghanistan hampir seluruhnya dibiayai uang pinjaman yang cepat atau lambat harus dilunasi. Laporan menyimpulkan, 225.000-258.000 orang telah tewas dalam dua perang tersebut, namun jumlah ini bisa jauh lebih tinggi karena AS selalu menutupi jumlah korban sebenarnya. Jika studi ini benar, selain terpanjang dalam sejarah, maka biaya perang AS yang telah mengalir sejak peristiwa 9/11, akan mendekati biaya Perang Dunia II.

Sedangkan jumlah tentara Amerika yang tewas dalam perang di Afghanistan telah melampaui angka 2.000 orang. Di pihak Afganistan, Polisi dan tentara Afghanistan yang tewas juga lebih banyak sejak perang dimulai tahun 2001. Statistik sejak tahun 2007 menunjukkan lebih dari 6.500 anggota pasukan keamanan Afghanistan tewas. PBB melaporkan lebih dari 13 ribu warga sipil Afghanistan juga tewas dan setengah juta warga Afghanistan mengungsi akibat konflik sejak tahun 2001 itu.

Pertanyaannya, dengan dana yang besar dan korban yang terus berjatuhan itu apakah yang dicari ? Selama ini, jika berbicara mengenai alasan perang Amerika Serikat di Afghanistan akan terfokus pada alasan-alasan klasik seperti masalah politik, keamanan (teroris), dan kepentingan nasional dari aktor negara sebagai alasannya.

Jika pada zaman pertengahan, perbutan kekuasaan dalam perang bermotifkan Gold, Gospel, and Glory nampaknya sekarang mulai ditinggalkan. Sudah tidak zamannya dalam setiap perang akan memaksakan agama (Gospel) atau hanya menyinggung masalah kejayaan negara penakluk saja. Di era perang modern, satu-satunya motif yang tersisa adalah Gold (ekonomi). Inilah alasan yang paling mendalam dan seringkali terlewat commonsense. Praktek memperoleh keuntungan ekonomi dari perang ini dikenal dengan sebutan war profiteering.

Lalu, apa yang menyebabkan perang Afganistan sejak dulu dan bentuk war profiteering Apa yang diperoleh oleh pemenang perang ? JIka dilihat dari data, perebutan kekuasaan (perang) bukan berdasarkan perebutan energi (minyak) seperti seperti di Timur Tengah, ataupun Bahan tambang (emas, permata, besi, dsb) seperti di Afrika.

Dari berbagai literatur yang ada, belum tergambar motif secara lengkap bagaimana Afghanistan dilanda perang terus menerus. Tentunya selain proyek rekonstruksi pasca perang yang dananya mencapai $4,5 juta (tahun 2002) oleh World Bank di bidang pendidikan, kesehatan, dan fasilitas kesehatan, peningkatan kapasitas administratif, perkembangan sektor pertanian, dan pembangunan kembali jalan, energi, dan jaringan telekomunikasi pasti ada war profiteering lainnya, yaitu Opium.

Perekonomian Afghanistan

Jika melihat data dari World Bank, Afghanistan adalah sebuah negara yang relatif miskin dimana pertumbuhan ekonominya hanya sebesar 1,3% pada tahun 2014 dan 1,5% di tahun 2015. Menurut data tersebut, negara ini perekonomiannya sangat bergantung pada pertanian. Sektor pertanian di atas tak lain dan tak bukan adalah pertanian Opium (bahan baku pembuatan kodein, heroin, dan morfin).

Hasil Publikasi UNODC 2015, Afghanistan merupakan pemasok heroin terbesar di dunia (80%). Heroin Afghanistan di pasarkan ke seluruh dunia selain ke negara-negara Amerika latin. Di negara ini ini pula tingkat prevelansi kecanduan Opium termasuk angka tertinggi dunia (2,65%).

Afghanistan bersama dengan Iran, dan Pakistan disebut sebagai daerah “Bulan Sabit Emas” (The Golden Crescent) yang merupakan sebutan untuk kawasan produsen utama opium gelap terbesar di dunia selain kawasan Segitiga Emas yang ada di kawasan Asia Tenggara (Myanmar, Laso, dan Thailand).

Afghanistan memproduksi Opium dengan konsep yang paling bagus. Disana terdapat banyak “industri” pengolahan Opium yang dibuat untuk pangsa pasar yang berbeda-beda. Produk yang dihasilkan seperti Opium mentah, Morphine, dan beberapa varian dari Kokain. Sejumlah produk itu dipasarkan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan pasar ekspor.

Tanggal 23 Oktober 2016, sebuah survei yang drilis oleh Kementerian Anti Narkotika Afghanistan dan UNODC menyebutkan bahwa Produksi Opium di Afghanistan meningkat 43% menjadi 4.800 ton pada tahun 2016 dibandingkan dengan tahun 2015 sebesar 3,300 metrik ton. Survey diatas juga mempublikasikan pertambahan lahan pertanian Opium yang juga meningkat menjadi 201.000 hektare (ha) pada tahun 2016, naik 10% dibandingkan pada tahun 2015 seluas 183.000 ha. Kini banyak lahan baru ditemukan di wilayah yang sebelumnya bebas dari lahan opium.

Dari temuan terakhir, provinsi yang 100% bebas lahan opium hanya 13 dari total 34 provinsi yang ada. Hilmand merupakan Provinsi dengan jumlah lahan paling banyak yaitu 80.273 ha (40% dari total nasional), diikuti dengan Badghis (35.234 ha), Kandahar (20.475 ha), Uruzgan (15.503 ha), Nangarhar (14.344 ha), Farah (9101 ha), Badakhshan (6298 ha) dan Nimroz (5303 ha). Provinsi-provinsi diatas merupakan wilayah yang masih bergejolak dan dikuasai oleh Taliban. Uniknya, masih dari data survey UNODC 2016, pertumbuhan jumlah lahan pertanian Opium meningkat tajam setelah AS menginvasi Afghanistan. Pada tahun 2005 terdapat 131,000 ha ladang Opium dan meningkat hampir 40% jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu sebanyak 80.000 Ha.

War profiteering

Sejak AS memimpin invasi Afghanistan pada Oktober 2001, perdagangan opium telah melonjak. Menurut media AS, selundupan yang menguntungkan ini dilindungi oleh Osama, Taliban, dan juga para panglima perang regional. Tentu saja fakta ini bertentangan dengan "masyarakat internasional". Menurut Departemen Luar Negeri AS, Bisnis heroinlah yang merupakan sumber kekayaan (asset) Taliban.

Ironisnya, pada tanggal 1 April 2004, Sekretaris Asisten Negara AS, Robert Charles dalam kegiatan “Kongres Mendengar” menyampaikan pernyataan bahwa Opium merupakan sumber pendanaan berjumlah milyaran dolar untuk kelompok-kelompok ekstremis. Selain itu, pasokan opium merupakan inti pendanaan untuk membangun demokrasi yang aman dan stabil, serta memenangkan perang global melawan terorisme.

Senada dengan Charles, Global Research (2015) menyebut, “Heroin adalah bisnis bernilai miliaran dollar yang didukung oleh kekuatan besar. Sebagai sebuah komoditas, heroin membutuhkan kestabilan keamanan. Satu dari agenda tersembunyi dari perang adalah mengembalikan CIA (Badan Intelejen Amerika) sebagai pendukung perdagangan Narkoba dan mengontrol langsung rute perdagangannya”.

Pernyataan ini membuktikan bahwa Tentara Amerika secara langsung maupun tidak langsung menjadi penjaga perdagangan Opium di seluruh dunia. Selain itu, ditengarai banyak kepentingan beberapa perusahaan besar yang memiliki kepentingan perdagangan Opium di Afghanistan. Tercatat sampai tahun 2014 ada 108.000 Kontrak perusahaan AS terhubung dengan perdagangan narkoba di Afghanistan.

Pendapatan yang dihasilkan dari perdagangan Opium di Afghanistan sangat besar, yang diperkirakan oleh PBB sekitar $ 400-500 miliar. (Douglas Keh, “Obat dan Uang dalam Dunia yang Berubah”, dokumen Teknis No. 4, 1998, Wina UNDCP, p. 4. Lihat juga Program Pengawasan Obat PBB, Laporan International Narcotics Control Board untuk tahun 1999, E / INCB / 1999 / 1 PBB, Wina 1999, hal. 49-51, dan Richard Lapper, PBB “Ketakutan Pertumbuhan dan Perdagangan heroin, Financial Times, 24 Februari 2000). Perkiraan angka diatas adalah sama besarnya dengan perdagangan minyak di seluruh dunia.

Harga Opium kering per September 2015 yang dirilis oleh UNODC seharga $164/kg. Angka ini mengalami kenaikan (12%) dari tahun 2014 seharga $146/kg. Jika sudah diolah menjadi heroin, harganya menjadi $ 3,293/kg pada tahun 2015. Harga ini mengalami kenaikan (19%) dari tahun 2014 seharga $ 2,757 /kg. Jika dikalkulasi maka harga yang diperoleh dari bisnis Heroin di seluruh Afghanistan adalah sebesar $15,806,400,000. Angka ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan Pendapatan Negara dalam APBN Indonesia 2016 yang hanya sebesar $14,019,230,769.23 (jika 1$=Rp.13,000).

Maka tak heran jika Harian The Independent, 29 Februari 2004 mempublikasikan perdagangan narkoba merupakan "komoditas global terbesar ketiga setelah minyak dan perdagangan senjata." The Independent mengatakan, ada jaringan perdagangan yang kuat dan tentu saja kepentingan pihak tertentu dibelakang bisnis narkotika. Dari sudut pandang ini, kontrol geopolitik dan militer atas rute narkoba adalah seperti kontrol atas pipa minyak dan minyak itu sendiri yang melewati berbagai negara.

Namun dibanding dengan bisnis minyak, yang membedakannya adalah narkotika merupakan sumber utama pembentukan kekayaan tidak hanya untuk kejahatan terorganisir tetapi juga untuk aparat intelijen AS, yang merupakan aktor kuat dalam bidang keuangan dan perbankan. Pada gilirannya, CIA yang melindungi perdagangan narkoba telah mengembangkan bisnis yang kompleks dan penyamaran untuk sindikat kejahatan utama yang terlibat dalam perdagangan narkoba.

Dengan kata lain, badan-badan intelijen dan sindikat bisnis yang kuat bersekutu dengan kejahatan terorganisir, bersaing untuk pengendalian strategis atas rute heroin. Pendapatan multi-miliar dolar narkotika disimpan dalam sistem perbankan Barat. Sebagian besar bank-bank internasional besar bersama-sama dengan afiliasi mereka dalam pencucian uang dalam jumlah besar (Narco-dolar).

Terakhir, perdagangan narkotika ini hanya bisa survive jika aktor utama yang terlibat memiliki "lobi politik tinggi." Akhirnya ketika hukum dan usaha ilegal semakin terjalin, garis pemisah antara "pengusaha" dan penjahat akan semakin kabur. Pada gilirannya, hubungan antara penjahat, politisi, apparat keamanan telah tercemar termasuk struktur negara dan peran lembaga-lembaganya, bukan?.

Oleh Afib Rizal, S.Sos, M.I.Kom

Artikel Terkait

Anak petani yang lahir di sebuah desa terpencil.


EmoticonEmoticon